Oke, saya akan bercerita
tentang pernikahan.
Heh! Tentu saja bukan
saya yang nikah (jombo ini.. *Ups), melainkan my the one and only brother, Mas
Yudha.
Barangkali perlu saya
kasih tahu sebelumnya bahwa saya berasal dari keluarga yang menganut agama
Islam, sehingga pernikahan yang dilaksanakan oleh kakak saya, tentu saja
berlandaskan pada syariat Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW.
Sebagian umat Islam, menikah di Masjid (selayaknya orang Nasrani menikah di
Gereja) namun sebagian pula, memilih untuk melaksanakan pernikahan di rumah
atau gedung pertemuan, dan semacamnya.
Ada syarat-syarat sebelum
akhirnya seseorang diperbolehkan untuk menikah. Syarat umur, kesiapan, dan
lain-lain. Calon pengantin harus mendaftar dulu di KUA (Kantor Urusan Agama)
setempat sebelum melangsungkan prosesi pernikahan dengan melengkapi beberapa bersyaratan
(Akte lahir, Ijazah, dll) dan mengisi formulir. Kenapa saya bisa tahu? Karena
saya juga membantu.
Persiapan pernikahan ini
dimulai ketika secara resmi, keluarga saya melamar Mbak Novie (si Mbak ipar)
pada 18 Maret 2012 ke rumahnya dengan membawa beberapa jenis ‘sesrahan’.
Istilah dalam Bahasa Jawa untuk prosesi lamaran ini adalah “Njaluk” yang
berarti meminta. Maksudnya, meminta Mbak Novie kepada keluarganya untuk
dijadikan menantu. Kira-kira begitu.
Lalu disusul pada tanggal
12 Mei 2012, keluarga Mbak Novie yang datang ke rumah keluarga saya untuk
‘menjawab’ Lamaran yang diajukan oleh keluarga saya dua bulan sebelumnya.
Istilah Jawanya “Mbalekno gunem”. Pada acara hari itu, dibahas pula kapan
pernikahan akan dilangsungkan.
Setelah proses musyawarah,
akhirnya ditentukan bahwa akad nikah akan dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus
2012 sedangkan acara walimah akan diadakan tanggal 1-2 September. Biasanya,
orang Jawa yang masij Jawa-banget akan melakukan perhitungan-perhitungan khusus
dalam menentukan tanggal pernikahan. Dilihat dari tanggal lahir, weton dan
‘dino-pasaran’nya. Entahlah. Perhitungan Primbon Jawa yang walau saya sendiri gadis
Jawa asli tapi kurang begitu memahami. Untungnya keluarga kami menganut prinsip
“Setiap hari adalah hari yang baik” jadi tidak memerlukan pertimbangan weton pahing,
wage, legi, kliwon, bla bla bla untuk memutuskankan hari H.
Tapi kalau untuk tanggal
pernikahan, maksud saya, untuk prosesi Ijab Qabul dalam akad nikah memang
sengaja dipilih hari khusus yakni tanggal 25 September karena alasan khusus.
Ceritanya, si Mbak Novie ini punya adik laki-laki yakni Mas Riza yang masih menjadi
santri di Pondok Gontor – Ponorogo, dan dia hanya libur sampai hari raya
Ketupat (7 Syawal) atau tepat seminggu setelah Idul Fitri (1 Syawal). Mas Riza
ini mau melihat kakaknya menikah, jadi akad nikah dilangsungkan sebelum dia
kembali ke pesantren tapi walimahnya seminggu kemudian.
Hari jumat sore tanggal
24 september, di rumah saya sudah mulai hectic dengan kedatangan
saudara-saudara (baca: budhe-budhe, mbak-mbak dan bocah-bocah). Sebenarnya
rumah mereka juga merangkap jabatan sebagai tetangga karena rumah-rumah mereka
berdekatan dengan rumah yang saya tinggali. Kecuali Mbak Apin yang datang dari
Bima dan Mbak Ema + Echa yang datang dari Lombok – NTB.
Mereka membantu persiapan
buat esoknya. Ada yang sekedar membantu mengupas bawang atau apa pun. Jadi,
esoknya pagi-pagi sekitar jam 6 pagi, sebelum berangkat ke rumah Mbak Novie,
ada ‘selamatan’ atau semacam tasyakuran dan doa bersama para tetangga jadi
tentu saja dibutuhkan makanan-makanan.
Pas itu, salah satu budhe
datang membawa cucunya yang masih bayi. Si budhe mau bantuin masak, maka saya
dan adek sepupu saya disuruh jagain cucunya. Astagaaa.. jagain bayi itu susah!
Baru sejam atau dua jam gitu pas tiba-tiba si cucu nangis nggak mau berhenti
dan nggak mau minum susu dari botolnya. Yah, si Budhe pun terpaksa pulang.
Sabtu pagi-pagi tak kalah
hectic, saya bangun jam setengah 5 lebih ternyata di dapur sudah ada beberapa
orang. Sekitar jam 6 tetangga-tetangga berdatangan dan acara tasyakuran
kecil-kecilan pun dimulai.
Seusai para tetangga
pulang, gantian saudara-saudara yang sarapan bersama.
Sekitar jam setengah 8,
rombongan yang terdiri atas: Mas Yudha, Ayah, Pakdhe Rul (saudara almarhum Mbah
Kakung), Pak Bi (adik Mbah Uti), Pak Tris, Pak Noto (kerabat ayah dari Sragen),
Mas Unang, Oom Fuad, Oom Mimit (nama aslinya Hamim), Oom Makong (nama aslinya
Fathur), Mas Supad, Mas Dan, dan Mas Budi (baru datang pas mau pulang, rumahnya
di Sidoarjo) dan perempuannya cuma saya dan Dek Oshin (adek sepupu sebelah
rumah). Seingatku sih cuma itu. Tapi kayaknya tadi agak banyak deh. Mm, lupa.
Kenapa Ibu dan Nenek saya
tidak ikut? Alasannya, kebiasaan orang di lingkungan tempat tinggal saya memang
perempuan tidak ikut ke acara akad nikah, hanya para lelaki saja yang ikut.
Aah, kalau saya sih bodo amat, yak? Orang kakak sendiri mau nikah masak nggak
menyaksikan?
Sekitar jam 8 kurang,
kami sampai di rumah Mbak Novie. Rencananya acara mulai jam 8. Rumahnya dekat,
men. Satu kecamatan. Saya pernah nggowes sepeda pelan-pelan aja sekitar 30
menit udah sampe kok.
Ternyata molor, acara
baru dimulai jam setengah 9 karena Pak Penghulu menikahkan pasangan lain dulu
(kalau tidak salah dengar). Bahkan, disela-sela menunggu Pak Penghulu, Mas
Yudha sempet gladi resik dulu. Hahaha. Nervous kali dia nampaknya.
Oia, gampangannya: Ijab adalah “serah”
sedangkan Qabul adalah “terima”. Jadi, Ijab diucapkan oleh Mas Riza lalu Qabul
diucapkan Mas Yudha.
Pak Penghulu datang.
Acara dibuka oleh seorang
Bapak-Bapak keluarga dari Mbak Novie.
Acara orang akad nikah dalam
Islam itu umumnya begini:
Pertama, ditentukan dulu
siapa wali nikahnya.
Mbak Novie ini seorang
yatim, ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Jadi, wali
nikahnya adalah Mas Arif (kakak pertamanya). Tapi kemudian diwakilkan ke Mas
Riza (adiknya) yang terlihat lebih dalam ilmu agamanya.
Kedua, dilakukan
pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh Ustadz Masykur (kalau tidak salah namanya
gitu). Seingat saya sih, beliau membacakan surah Ar-Ruum ayat 21, itupun saya
tahunya karena ayat itu emang standar dipake pas acara nikah dan ada kata-kata
“azwaja” dan “mawaddah wa rohmah”. Hehehe. Jadi saya tahu yang itu. Tapi
lainnya, ayat apa yag dibaca, saya tidak tahu. Kan saya bukan hafidzah, how
could i know? >.<
Terjemah Ar Ruum ayat 21:
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa
tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang.
Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum
yang berfikir.”
Aslinya, qari’-nya ini
baca Qur’annya enak banget. Tapii, saya lapar pas itu. Pas orang-orang sarapan,
saya disuruh Ayah mandi. Jadi, kurang khusyu’ nyimaknya. Coba bayangkan,
bagaimana bisa mendengarkan dengan baik, jika anda lapar dan anda duduk tepat
di sebelah meja makanan dan di depan anda ada es kopyor yang nampak sangat
segar?
Ketiga, acara pembacaan
(atau pengucapan?) Khotbah Nikah oleh Pak Jauhari dalam bahasa Arab yang
diselingi terjemah bahasa Indonesia. Pak Jauhari ini adalah guru pelajaran
Agama Islam pas saya SMP dulu. Kenapa ada beliau? Karena Mbak Novie adalah
Ustadzah di TPQ Al Hijrah milik Pak Jauhari. Aslinya Mbak Novie ini bekerja
sebagai guru SMP tapi mungkin dia akan ikut Mas Yudha ke Manggarai Barat.
Keempat, acara inti, yakni Ijab Qabul. Ijab Qabul dilaksanakan dalam bahasa Arab (meski saya tahu, kemampuan Bahasa Arab Mas Yudha kacau parah).
Pak Jau (saat khotbah nikah) |
Keempat, acara inti, yakni Ijab Qabul. Ijab Qabul dilaksanakan dalam bahasa Arab (meski saya tahu, kemampuan Bahasa Arab Mas Yudha kacau parah).
Salah ambil angle, malah mas riza yang nongol |
Maka, sebuah perjanjian
agung pun terucapkan.
Kelima, acara do’a yang
dipimpin oleh Bapak-Bapak berkopyah putih.
Keenam, Mbak Novie ikut
nimbrung ke depan penghulu untuk menandatangani surat nikah lalu penyerahan mahar.
Saat prosesi penyerahan mahar, seluruh tamu berdiri dan melantunkan Shalawat bersama-sama.
Ketujuh, acara
makan-makan. Yes, i had been waiting for that part :p
Acara pernikahan ini
kurang dari dua jam tapi pengaruhnya akan berlangsung selama bertahun-tahun.
Ya, setelah 28 tahun hidup sendiri, sekarang Mas Yudha sudah secara resmi
memiliki istri yang akan menemani hari-harinya.
Pernikahan yang kurang
dari dua jam itu pun menyadarkan saya. Sudah saatnya berhenti meminta uang
jajan tambahan ke Mas Yudha. Selama ini saya suka sms dia diam-diam lalu
bertambahlah nominal di rekening bank yang berujung omelan Ibu jika beliau
tahu.
Mas Yudha telah
berkeluarga. Banyak hal yang harus dilakukan, menabung untuk membeli rumah,
menyekolahkan anak-anak nantinya, dan lain sebagainya.
Selamat Menempuh Hidup
Baru, Mas.
Semoga menjadi keluarga
yang bahagia dan penuh berkah.
Semoga bisa menjadi suami
dan ayah yang baik.
Semoga nggak suka rebutan
remote TV sama Mbak Novie.
Semoga nggak suka
narik-narik kakinya Mbak Novie sampe nyaris jatuh dari kasur kalo dia nggak mau
bangun (like you used to do to me).
BarokAllahu laka wa
baroka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khoir.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar