Kamis, 30 Agustus 2012

The Wedding (Part. 1)


 Nampaknya kali ini saya akan bercerita tentang kejadian yang agak penting (dibanding tulisan-tulisan absurd sebelumnya).

Oke, saya akan bercerita tentang pernikahan.


Heh! Tentu saja bukan saya yang nikah (jombo ini.. *Ups), melainkan my the one and only brother, Mas Yudha.

Barangkali perlu saya kasih tahu sebelumnya bahwa saya berasal dari keluarga yang menganut agama Islam, sehingga pernikahan yang dilaksanakan oleh kakak saya, tentu saja berlandaskan pada syariat Islam yang sesuai dengan ajaran Nabi Muhammad SAW. Sebagian umat Islam, menikah di Masjid (selayaknya orang Nasrani menikah di Gereja) namun sebagian pula, memilih untuk melaksanakan pernikahan di rumah atau gedung pertemuan, dan semacamnya.

Ada syarat-syarat sebelum akhirnya seseorang diperbolehkan untuk menikah. Syarat umur, kesiapan, dan lain-lain. Calon pengantin harus mendaftar dulu di KUA (Kantor Urusan Agama) setempat sebelum melangsungkan prosesi pernikahan dengan melengkapi beberapa bersyaratan (Akte lahir, Ijazah, dll) dan mengisi formulir. Kenapa saya bisa tahu? Karena saya juga membantu.

Persiapan pernikahan ini dimulai ketika secara resmi, keluarga saya melamar Mbak Novie (si Mbak ipar) pada 18 Maret 2012 ke rumahnya dengan membawa beberapa jenis ‘sesrahan’. Istilah dalam Bahasa Jawa untuk prosesi lamaran ini adalah “Njaluk” yang berarti meminta. Maksudnya, meminta Mbak Novie kepada keluarganya untuk dijadikan menantu. Kira-kira begitu.

Lalu disusul pada tanggal 12 Mei 2012, keluarga Mbak Novie yang datang ke rumah keluarga saya untuk ‘menjawab’ Lamaran yang diajukan oleh keluarga saya dua bulan sebelumnya. Istilah Jawanya “Mbalekno gunem”. Pada acara hari itu, dibahas pula kapan pernikahan akan dilangsungkan.

Setelah proses musyawarah, akhirnya ditentukan bahwa akad nikah akan dilaksanakan pada tanggal 25 Agustus 2012 sedangkan acara walimah akan diadakan tanggal 1-2 September. Biasanya, orang Jawa yang masij Jawa-banget akan melakukan perhitungan-perhitungan khusus dalam menentukan tanggal pernikahan. Dilihat dari tanggal lahir, weton dan ‘dino-pasaran’nya. Entahlah. Perhitungan Primbon Jawa yang walau saya sendiri gadis Jawa asli tapi kurang begitu memahami. Untungnya keluarga kami menganut prinsip “Setiap hari adalah hari yang baik” jadi tidak memerlukan pertimbangan weton pahing, wage, legi, kliwon, bla bla bla untuk memutuskankan hari H.

Tapi kalau untuk tanggal pernikahan, maksud saya, untuk prosesi Ijab Qabul dalam akad nikah memang sengaja dipilih hari khusus yakni tanggal 25 September karena alasan khusus. Ceritanya, si Mbak Novie ini punya adik laki-laki yakni Mas Riza yang masih menjadi santri di Pondok Gontor – Ponorogo, dan dia hanya libur sampai hari raya Ketupat (7 Syawal) atau tepat seminggu setelah Idul Fitri (1 Syawal). Mas Riza ini mau melihat kakaknya menikah, jadi akad nikah dilangsungkan sebelum dia kembali ke pesantren tapi walimahnya seminggu kemudian.

Hari jumat sore tanggal 24 september, di rumah saya sudah mulai hectic dengan kedatangan saudara-saudara (baca: budhe-budhe, mbak-mbak dan bocah-bocah). Sebenarnya rumah mereka juga merangkap jabatan sebagai tetangga karena rumah-rumah mereka berdekatan dengan rumah yang saya tinggali. Kecuali Mbak Apin yang datang dari Bima dan Mbak Ema + Echa yang datang dari Lombok – NTB.

Mereka membantu persiapan buat esoknya. Ada yang sekedar membantu mengupas bawang atau apa pun. Jadi, esoknya pagi-pagi sekitar jam 6 pagi, sebelum berangkat ke rumah Mbak Novie, ada ‘selamatan’ atau semacam tasyakuran dan doa bersama para tetangga jadi tentu saja dibutuhkan makanan-makanan.

Pas itu, salah satu budhe datang membawa cucunya yang masih bayi. Si budhe mau bantuin masak, maka saya dan adek sepupu saya disuruh jagain cucunya. Astagaaa.. jagain bayi itu susah! Baru sejam atau dua jam gitu pas tiba-tiba si cucu nangis nggak mau berhenti dan nggak mau minum susu dari botolnya. Yah, si Budhe pun terpaksa pulang.

Sabtu pagi-pagi tak kalah hectic, saya bangun jam setengah 5 lebih ternyata di dapur sudah ada beberapa orang. Sekitar jam 6 tetangga-tetangga berdatangan dan acara tasyakuran kecil-kecilan pun dimulai.
Seusai para tetangga pulang, gantian saudara-saudara yang sarapan bersama.
Sekitar jam setengah 8, rombongan yang terdiri atas: Mas Yudha, Ayah, Pakdhe Rul (saudara almarhum Mbah Kakung), Pak Bi (adik Mbah Uti), Pak Tris, Pak Noto (kerabat ayah dari Sragen), Mas Unang, Oom Fuad, Oom Mimit (nama aslinya Hamim), Oom Makong (nama aslinya Fathur), Mas Supad, Mas Dan, dan Mas Budi (baru datang pas mau pulang, rumahnya di Sidoarjo) dan perempuannya cuma saya dan Dek Oshin (adek sepupu sebelah rumah). Seingatku sih cuma itu. Tapi kayaknya tadi agak banyak deh. Mm, lupa.

Kenapa Ibu dan Nenek saya tidak ikut? Alasannya, kebiasaan orang di lingkungan tempat tinggal saya memang perempuan tidak ikut ke acara akad nikah, hanya para lelaki saja yang ikut. Aah, kalau saya sih bodo amat, yak? Orang kakak sendiri mau nikah masak nggak menyaksikan?

Sekitar jam 8 kurang, kami sampai di rumah Mbak Novie. Rencananya acara mulai jam 8. Rumahnya dekat, men. Satu kecamatan. Saya pernah nggowes sepeda pelan-pelan aja sekitar 30 menit udah sampe kok.
Ternyata molor, acara baru dimulai jam setengah 9 karena Pak Penghulu menikahkan pasangan lain dulu (kalau tidak salah dengar). Bahkan, disela-sela menunggu Pak Penghulu, Mas Yudha sempet gladi resik dulu. Hahaha. Nervous kali dia nampaknya. 

Oia, gampangannya: Ijab adalah “serah” sedangkan Qabul adalah “terima”. Jadi, Ijab diucapkan oleh Mas Riza lalu Qabul diucapkan Mas Yudha.

Pak Penghulu datang.

Acara dibuka oleh seorang Bapak-Bapak keluarga dari Mbak Novie.

Acara orang akad nikah dalam Islam itu umumnya begini:

Pertama, ditentukan dulu siapa wali nikahnya.
Mbak Novie ini seorang yatim, ayahnya telah meninggal dunia beberapa tahun yang lalu. Jadi, wali nikahnya adalah Mas Arif (kakak pertamanya). Tapi kemudian diwakilkan ke Mas Riza (adiknya) yang terlihat lebih dalam ilmu agamanya.

Kedua, dilakukan pembacaan ayat suci Al Qur’an oleh Ustadz Masykur (kalau tidak salah namanya gitu). Seingat saya sih, beliau membacakan surah Ar-Ruum ayat 21, itupun saya tahunya karena ayat itu emang standar dipake pas acara nikah dan ada kata-kata “azwaja” dan “mawaddah wa rohmah”. Hehehe. Jadi saya tahu yang itu. Tapi lainnya, ayat apa yag dibaca, saya tidak tahu. Kan saya bukan hafidzah, how could i know? >.<

Terjemah Ar Ruum ayat 21:
Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya diantaramu rasa kasih dan sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berfikir.

Aslinya, qari’-nya ini baca Qur’annya enak banget. Tapii, saya lapar pas itu. Pas orang-orang sarapan, saya disuruh Ayah mandi. Jadi, kurang khusyu’ nyimaknya. Coba bayangkan, bagaimana bisa mendengarkan dengan baik, jika anda lapar dan anda duduk tepat di sebelah meja makanan dan di depan anda ada es kopyor yang nampak sangat segar?

Ketiga, acara pembacaan (atau pengucapan?) Khotbah Nikah oleh Pak Jauhari dalam bahasa Arab yang diselingi terjemah bahasa Indonesia. Pak Jauhari ini adalah guru pelajaran Agama Islam pas saya SMP dulu. Kenapa ada beliau? Karena Mbak Novie adalah Ustadzah di TPQ Al Hijrah milik Pak Jauhari. Aslinya Mbak Novie ini bekerja sebagai guru SMP tapi mungkin dia akan ikut Mas Yudha ke Manggarai Barat.

Pak Jau (saat khotbah nikah)

Keempat, acara inti, yakni Ijab Qabul. Ijab Qabul dilaksanakan dalam bahasa Arab (meski saya tahu, kemampuan Bahasa Arab Mas Yudha kacau parah).
Salah ambil angle, malah mas riza yang nongol
Dipimpin oleh Pak Penghulu tapi yang melakukan ya wali mempelai perempuan dan mempelai laki-laki. Jadi, Mas Riza dan Mas Yudha saling menjabat tangan kemudian Mas Riza ngomong panjang entah apa dalam Bahasa Arab tentu saja (untungnya dia pinter Bahasa Arab). Arti ngasalnya ya kira-kira “saya nikahkan anda dengan saudari saya dengan mas kawin seperangkat alat sholat dan uang Rp1.000.000” (tapi kalo dalam Bahasa Arab kok kayaknya panjang banget ya?). Kemudian Mas Yudha menjawab hanya dengan sebuah kalimat pendek “Qobiltu nikachaha wa tazwijaha bil mahril madzkur”. Saya bahkan hafal. Hehehe.
Mas kawin a.k.a maharnya:
Sebagian uang mahar


Maka, sebuah perjanjian agung pun terucapkan.

Kelima, acara do’a yang dipimpin oleh Bapak-Bapak berkopyah putih.

Keenam, Mbak Novie ikut nimbrung ke depan penghulu untuk menandatangani surat nikah lalu penyerahan mahar. Saat prosesi penyerahan mahar, seluruh tamu berdiri dan melantunkan Shalawat bersama-sama.
Penyerahan Seperangkat alat Sholat


Ketujuh, acara makan-makan. Yes, i had been waiting for that part :p

Acara pernikahan ini kurang dari dua jam tapi pengaruhnya akan berlangsung selama bertahun-tahun. Ya, setelah 28 tahun hidup sendiri, sekarang Mas Yudha sudah secara resmi memiliki istri yang akan menemani hari-harinya.

Pernikahan yang kurang dari dua jam itu pun menyadarkan saya. Sudah saatnya berhenti meminta uang jajan tambahan ke Mas Yudha. Selama ini saya suka sms dia diam-diam lalu bertambahlah nominal di rekening bank yang berujung omelan Ibu jika beliau tahu.

Mas Yudha telah berkeluarga. Banyak hal yang harus dilakukan, menabung untuk membeli rumah, menyekolahkan anak-anak nantinya, dan lain sebagainya.

Selamat Menempuh Hidup Baru, Mas.
Semoga menjadi keluarga yang bahagia dan penuh berkah.
Semoga bisa menjadi suami dan ayah yang baik.

Semoga nggak suka rebutan remote TV sama Mbak Novie.
Semoga nggak suka narik-narik kakinya Mbak Novie sampe nyaris jatuh dari kasur kalo dia nggak mau bangun (like you used to do to me).

BarokAllahu laka wa baroka ‘alaikuma wa jama’a bainakuma fi khoir.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

...aku

Foto saya
Gresik, Jawa Timur, Indonesia
ex-mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga