Jumat, 31 Agustus 2012

Sejenak Bogor


Urutan nomer 46 : “Mengunjungi Kebun Raya Bogor” akhirnya resmi tercoret dari daftar 100 Cita-cita. Yey!

Beberapa waktu yang lalu, tepatnya tanggal 29 Juli 2012 saya berkesempatan pergi ke Kabupaten Bogor meski hanya menginjakkan kaki beberapa jam saja.


Perjalanan dimulai sabtu sore hari setelah sholat maghrib, Aila mengantar saya ke stasiun Pasar Turi – Surabaya.

Pukul 20.10 WIB kereta jalan dan sekitar 10 jam saya duduk di atas kereta. Sendirian. Bahkan satu barisan bangku, saya duduk sendirian. Dan dinginnya kereta malam memang teramat sangat keterlaluan! Selimut yang diberikan petugas pun tak mampu menghalau rasa dingin yang menggigit kulit.

Lalu minggu pagi sekitar pukul 6 pagi, saya turun dari kereta di stasiun Gambir. Saya janjian dengan sahabat kuliah saya, Nyanya. Akhirnya beberapa saat kemudian dia muncul dari dalam stasiun juga karena ternyata dia naik kereta Komuter dari tempat tinggalnya di daerah Kalibata.

Kami pun naik kereta Komuter menuju stasiun Jakarta Kota. Gratis, karena kami masih memegang tiket kereta sebelumnya.

Sekedar info: di Jakarta, apabila anda naik kereta (meski cuma komuter), jangan coba-coba membuang tiketnya sebelum keluar dari stasiun pemberhentian anda yang terakhir. Karena, ketika keluar dari pintu stasiun, ada petugas yang akan mengecek tiket anda. Jika tiket anda hilang saat di kereta atau tak sengaja terbuang, anda akan dikenai denda IDR 50.000 baru bisa keluar.

Dari stasiun Jakarta Kota, kami berjalan melewati lorong stasiun dan keluar melalui sebuah pintu kaca di depan Museum Mandiri.

Kami naik angkutan warna biru menuju jalan Cengkeh kemudian jalan kaki menuju kost temannya Nyanya untuk menumpang mandi dan istirahat sejenak serta menitipkan tas yang berisi pakaian saya.

Kami berjalan memasuki kawasan Kota Tua Jakarta dengan bangunan-bangunan peninggalan era kolonial yang mulanya saya kira dijaga dengan baik oleh pemprov DKI, ternyata dugaan saya salah. 
Kota Tua Jakarta kumuh. Kotor. Pesing.

Pertama, kami berjalan melewati Museum Keramik. Tidak tertarik, kami jalan terus.

Lalu menuju gedung Museum Fatahillah. Ternyata masih terlalu pagi jadi museumnya belum buka. Kemudian kami berjalan ke arah Museum Wayang. Ternyata masih tutup juga.

Nyanya mengajak saya jalan berkeliling menikmati gedung-gedung tua yang cantik.

Kadang, saya berpikir, entah apa jadinya Indonesia seandainya tidak pernah dijajah Belanda. Barangkali tradisi korupsi akan berusia lebih lama dari yang sekarang ini. Dan mungkin tak ada gedung-gedung berarsitektur menawan. Cuma ada candi-candi, kali.

Ya, selalu ada sisi positif dan negatif dari segala hal, bukan? Termasuk 350 tahun penjajahan.

Sayang sekali, gedung-gedung itu tak terawat dengan baik. Seharusnya pemerintah mau menyisihkan sedikit anggarannya untuk memperbaiki. Tapi mungkin terkendala karena ternyata sebagian gedung itu adalah milik perusahaan swasta maupun perorangan. Jadi memang bukan tanggung jawab peerintah lagi sih untuk merawatnya.

Karena saya kesana pas bulan Ramadhan jadi suasana di kawasan Kota Tua sangat ramai. Lapangan depan museum Fatahillah penuh dengan stan-stan yang menjual berbagai produk. Ada panggung juga buat acara ngabuburit. Setelah keliling-keliling tak jelas, entah bagaimana ceritanya, tiba-tiba tercetus ide ke Bogor dan si Nyanya langsung mengiyakan setuju dan dia nampak sangat antusias.

Maka, tak lama kemudian kami berdua sudah duduk manis di dalam kereta rel listrik (KRL) khusus 
perempuan. Dingin. Nyaman. Tak terlalu ramai dan setiap ada laki-laki yang mencoba memasuki gerbong khusus perempuan ini, si mas-mas penjaga dengan sigap segera mengusirnya.

Entah berapa lama perjalanannya, melewati berbagai jenis pemandangan. Mulai gedung-gedung tinggi, rumah-rumah kumuh, hingga semacam hutan-hutan hijau, akhirnya kami berdua sampai di stasiun Bogor.
Satu kata: PANAS.

Semua orang tahunya Bogor adalah Kota Hujan, kan? Faktanya, tak ada hujan dan gerah. Seriusan. Tak kira Bogor itu suhunya bakalan dingin kayak Kota Batu di Jawa Timur.. Eh, cukup membuat berkeringat saat jalan kaki di sana.

Konon, Bogor juga dikenal sebagai kota Angkot karena ternyata angkot yang keliaran disana memang banyak banget. Setelah tanya orang dipinggir jalan, beliau menyarankan kami menaiki angkutan 02. Si angkot 02 ini ternyata ada buanyak banget keliaran. Asal naik aja sih. Lalu tak lama, kami sampai di Kebun Raya Bogor yang merupakan Pusat Konservasi Tumbuhan milik LIPI. 
Tiket masuknya per-orang IDR 9.500.

Pertama masuk, adem. Ijo. Suasana panas di jalanan mulai tergantikan oleh semilir dingin angin dan suasana asri dengan latar pohon-pohon yang menjulang tinggi.

Banyak bule, men.

Beberapa rombongan bule terlihat keliaran. Dengan berbagai bahasa asing yang aneh.

Kebun Raya Bogor ini luas banget, beneran. Saya dan nyanya jalan-jalan muter-muter keliaran dengan absurd di sana sampai akhirnya kelelahan. Pas itu bulan Ramadhan dan kami berdua puasa.

Ada peta besar tentang jalan dan lokasi tempat-tempat penting di dalam Kebun Raya Bogor.

Tentu saja, saya mau masuk ke Istana Bogor. Setelah jalan kaki agak jauh ke depan gerbangnya.. ternyata.. Tet tot!! Istana Bogor tidak dibuka untuk umum. Jadinya kami hanya manyun bergelayutan di pagarnya.
Demi efektivitas waktu dan tenaga, kami lalu naik kereta kelinci untuk mengelilingi Kebun Raya Bogor dengan tarif IDR 10.000 (lebih mahal ketimbang tarif KRL dari Jakarta ke Bogor).

Setelah ngetem agak lama hingga penumpangnya penuh, kereta pun berangkat.

Supirnya juga berperan ganda sebgai pemandu wisata.

Kalau tidak salah, pendiri Kebun Raya ini adalah orang Jerman tapi kemudian dikembangkan oleh orang Inggris, si Raffles. Iya ga sih? Saya nggak yakin dengan info ini karena pas si Pak Supir cerita, saya lebih asyik memperhatikan pemandangan di luar. Ada dua makam di sini. Makam entah siapanya Prabu Siliwangi gitu (apa pajajaran gitu ya beliau bilangnya?) dan makam Belanda. Tanaman di sini banyak banget. Just name it! Ada semua (kayaknya).

Di Kebun Raya Bogor ada sebuah jembatan gantung berwarna merah yang konon katanya kalo ada sepasang kekasih yang jalan bersama di atasnya, maka (mitosnya) mereka akan segera putus. Lah, konyolnya. Palingan kalo mereka putus juga gara-gara ada yang selingkuh atau ada yang berhenti menghargai komitmen. Masak cuma gara-gara lewat jembatan? Iya ga sih? Ah, abaikan.

Ada yang menarik. Jadi, ada pohon-pohon kapuk yang buahnya sudah tua dan menyebarkan semacam kapas tipis ke hamparan rumput disekitarnya. Bagus. Putih-putih menyebar di atas hijaunya rerumputan. Sayangnya saya hanya boleh duduk di kereta selama perjalan, dilarang turun-turun, paling pas ada tempat menarik, supirnya menghentikan kereta kelinci dan bercerita lalu kerete kelinci jalan lagi.
Ada juga tanaman yang bentuknya mirip burung Garuda Pancasila. 
Ada juga pogon gedhe dan tinggi yang usianya ratusan tahun. 
Macem-macem tumbuhan deh di sana tuh. Lebih lengkap ketimbang Kebun Raya Purwodadi - Jawa Timur.

Oia, tanaman di Kebun Raya Bogor ini tidak dicampur acak tapi digolongkan. Ada kelompok Bambu, Palem, Kayu-kayuan, Teratai raksasa, Paku-pakuan, tanaman Air, Buah-buahan, Pandan, Kaktus, Rotan, Anggrek, dll. Saya lupa apa aja. Kebanyakan sih.

Ada danau juga sih di sana. Ada banyak tempat duduk maupun gazebo.

Yang pasti, Kebun Raya Bogor ini cocok banget kalo buat semacam piknik bareng keluarga atau hang-out bareng teman-teman dekat. Kalo mau memperdalam ilmu tanaman ya bisa juga sih kalo emang niat.

Saran saya, kesana jangan pas puasaan. Belum puas udah kehausan duluan.


Pas udah agak siangan, kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Untungnya KRL selalu siap sedia. 

Setelah sholat di mushola stasiun, pas berjalan ke arah jalur kereta saya merasa ada lelaki paruh baya yang selalu membuntuti saya. Tangannya ditutupi jaket yang digulung sekenanya. Dia memakai topi. Pas itu suasana agak ramai. Saya mengabaikannya. Barangkali dia memang mau naik kereta di jalur yang sama dengan saya. Sampai akhirnya saya benar-benar mengerti, dia berniat nyopet. Konyolnya, saya bahkan sempat memperhatikan wajahnya yang agak salah tingkah pas saya noleh ke belakang saat saya merasa backpack saya seperti digerakkan oleh energi asing. He he he.

Dia berjalan menjauh. Saya lihat resleting depan backpack saya sudah terbuka. Untungnya, di bagian depan hanya ada headset, beng-beng dan barang-barang sederhana. Ponsel, dompet dan kamera pocket aman di bagian dalam. Alhamdulillah. 
Kemudian saya tutup resleting bagian tas depan dan masuk ke gerbong.
Hati-hati ya bagi kalian semua yang hobi pake tas punggung saat jalan. Selalu taruh barang penting di tas bagian dalam karena umumnya, tukang copet hanya membuka resleting bagian depan. Risiko meletakkan dompet di dalam, akan sulit mengambil uang, maka selalu sediakan uang pecahan kecil di saku celana jadi jika mau ke toilet atau apa pun, tak perlu buka dompet di tempat umum.

Agak sore kami sampai di stasiun Jakarta Kota lalu jalan kaki lewat jalan pintas ke kost teman Nyanya untuk mengambil tas yang tadi pagi saya titipkan. Karena sudah cukup lelah, kami ke pun ke halte Busway naik bajaj. Hey, that was my first time. Berasa dikocok-kocok emang. Hehehe

Kami naik busway jurusan Dukuh Atas lalu transit dan naik busway lain jurusan Mampang Prapatan. Sampai Mampang, saya naik ojek ke tempat saya menginap di Hotel Amaris di jalan Kapt. P. Tendean. Aslinya saya memang ada acara di Jakarta, bukan untuk jalan-jalan apalagi bekerja. Tapi ya sekalian lah jalan-jalan.

Yah, sekian dulu deh ceritanya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

...aku

Foto saya
Gresik, Jawa Timur, Indonesia
ex-mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga