Urutan nomer 46 :
“Mengunjungi Kebun Raya Bogor” akhirnya resmi tercoret dari daftar 100
Cita-cita. Yey!
Beberapa waktu yang lalu,
tepatnya tanggal 29 Juli 2012 saya berkesempatan pergi ke Kabupaten Bogor meski
hanya menginjakkan kaki beberapa jam saja.
Perjalanan dimulai sabtu
sore hari setelah sholat maghrib, Aila mengantar saya ke stasiun Pasar Turi –
Surabaya.
Pukul 20.10 WIB kereta
jalan dan sekitar 10 jam saya duduk di atas kereta. Sendirian. Bahkan satu
barisan bangku, saya duduk sendirian. Dan dinginnya kereta malam memang teramat
sangat keterlaluan! Selimut yang diberikan petugas pun tak mampu menghalau rasa
dingin yang menggigit kulit.
Lalu minggu pagi sekitar
pukul 6 pagi, saya turun dari kereta di stasiun Gambir. Saya janjian dengan
sahabat kuliah saya, Nyanya. Akhirnya beberapa saat kemudian dia muncul dari
dalam stasiun juga karena ternyata dia naik kereta Komuter dari tempat
tinggalnya di daerah Kalibata.
Kami pun naik kereta Komuter
menuju stasiun Jakarta Kota. Gratis, karena kami masih memegang tiket kereta
sebelumnya.
Sekedar info: di Jakarta,
apabila anda naik kereta (meski cuma komuter), jangan coba-coba membuang
tiketnya sebelum keluar dari stasiun pemberhentian anda yang terakhir. Karena,
ketika keluar dari pintu stasiun, ada petugas yang akan mengecek tiket anda.
Jika tiket anda hilang saat di kereta atau tak sengaja terbuang, anda akan
dikenai denda IDR 50.000 baru bisa keluar.
Dari stasiun Jakarta
Kota, kami berjalan melewati lorong stasiun dan keluar melalui sebuah pintu
kaca di depan Museum Mandiri.
Kami naik angkutan warna
biru menuju jalan Cengkeh kemudian jalan kaki menuju kost temannya Nyanya untuk
menumpang mandi dan istirahat sejenak serta menitipkan tas yang berisi pakaian saya.
Kami berjalan memasuki
kawasan Kota Tua Jakarta dengan bangunan-bangunan peninggalan era kolonial yang
mulanya saya kira dijaga dengan baik oleh pemprov DKI, ternyata dugaan saya
salah.
Kota Tua Jakarta kumuh. Kotor. Pesing.
Pertama, kami berjalan
melewati Museum Keramik. Tidak tertarik, kami jalan terus.
Lalu menuju gedung Museum
Fatahillah. Ternyata masih terlalu pagi jadi museumnya belum buka. Kemudian
kami berjalan ke arah Museum Wayang. Ternyata masih tutup juga.
Nyanya mengajak saya
jalan berkeliling menikmati gedung-gedung tua yang cantik.
Kadang, saya berpikir,
entah apa jadinya Indonesia seandainya tidak pernah dijajah Belanda. Barangkali
tradisi korupsi akan berusia lebih lama dari yang sekarang ini. Dan mungkin tak
ada gedung-gedung berarsitektur menawan. Cuma ada candi-candi, kali.
Ya, selalu ada sisi
positif dan negatif dari segala hal, bukan? Termasuk 350 tahun penjajahan.
Sayang sekali,
gedung-gedung itu tak terawat dengan baik. Seharusnya pemerintah mau
menyisihkan sedikit anggarannya untuk memperbaiki. Tapi mungkin terkendala
karena ternyata sebagian gedung itu adalah milik perusahaan swasta maupun
perorangan. Jadi memang bukan tanggung jawab peerintah lagi sih untuk
merawatnya.
Karena saya kesana pas
bulan Ramadhan jadi suasana di kawasan Kota Tua sangat ramai. Lapangan depan
museum Fatahillah penuh dengan stan-stan yang menjual berbagai produk. Ada
panggung juga buat acara ngabuburit. Setelah keliling-keliling tak jelas, entah
bagaimana ceritanya, tiba-tiba tercetus ide ke Bogor dan si Nyanya langsung mengiyakan
setuju dan dia nampak sangat antusias.
Maka, tak lama kemudian
kami berdua sudah duduk manis di dalam kereta rel listrik (KRL) khusus
perempuan. Dingin. Nyaman. Tak terlalu ramai dan setiap ada laki-laki yang
mencoba memasuki gerbong khusus perempuan ini, si mas-mas penjaga dengan sigap
segera mengusirnya.
Entah berapa lama
perjalanannya, melewati berbagai jenis pemandangan. Mulai gedung-gedung tinggi,
rumah-rumah kumuh, hingga semacam hutan-hutan hijau, akhirnya kami berdua
sampai di stasiun Bogor.
Satu kata: PANAS.
Semua orang tahunya Bogor
adalah Kota Hujan, kan? Faktanya, tak ada hujan dan gerah. Seriusan. Tak kira
Bogor itu suhunya bakalan dingin kayak Kota Batu di Jawa Timur.. Eh, cukup
membuat berkeringat saat jalan kaki di sana.
Konon, Bogor juga dikenal
sebagai kota Angkot karena ternyata angkot yang keliaran disana memang banyak
banget. Setelah tanya orang dipinggir jalan, beliau menyarankan kami menaiki angkutan
02. Si angkot 02 ini ternyata ada buanyak banget keliaran. Asal naik aja sih.
Lalu tak lama, kami sampai di Kebun Raya Bogor yang merupakan Pusat Konservasi
Tumbuhan milik LIPI.
Tiket masuknya per-orang IDR 9.500.
Pertama masuk, adem. Ijo.
Suasana panas di jalanan mulai tergantikan oleh semilir dingin angin dan
suasana asri dengan latar pohon-pohon yang menjulang tinggi.
Banyak bule, men.
Beberapa rombongan bule
terlihat keliaran. Dengan berbagai bahasa asing yang aneh.
Kebun Raya Bogor ini luas
banget, beneran. Saya dan nyanya jalan-jalan muter-muter keliaran dengan absurd
di sana sampai akhirnya kelelahan. Pas itu bulan Ramadhan dan kami berdua
puasa.
Ada peta besar tentang
jalan dan lokasi tempat-tempat penting di dalam Kebun Raya Bogor.
Tentu saja, saya mau
masuk ke Istana Bogor. Setelah jalan kaki agak jauh ke depan gerbangnya..
ternyata.. Tet tot!! Istana Bogor tidak dibuka untuk umum. Jadinya kami hanya
manyun bergelayutan di pagarnya.
Demi efektivitas waktu
dan tenaga, kami lalu naik kereta kelinci untuk mengelilingi Kebun Raya Bogor
dengan tarif IDR 10.000 (lebih mahal ketimbang tarif KRL dari Jakarta ke
Bogor).
Setelah ngetem agak lama
hingga penumpangnya penuh, kereta pun berangkat.
Supirnya juga berperan
ganda sebgai pemandu wisata.
Kalau tidak salah,
pendiri Kebun Raya ini adalah orang Jerman tapi kemudian dikembangkan oleh
orang Inggris, si Raffles. Iya ga sih? Saya nggak yakin dengan info ini karena
pas si Pak Supir cerita, saya lebih asyik memperhatikan pemandangan di luar.
Ada dua makam di sini. Makam entah siapanya Prabu Siliwangi gitu (apa pajajaran
gitu ya beliau bilangnya?) dan makam Belanda. Tanaman di sini banyak banget.
Just name it! Ada semua (kayaknya).
Di Kebun Raya Bogor ada
sebuah jembatan gantung berwarna merah yang konon katanya kalo ada sepasang
kekasih yang jalan bersama di atasnya, maka (mitosnya) mereka akan segera
putus. Lah, konyolnya. Palingan kalo mereka putus juga gara-gara ada yang
selingkuh atau ada yang berhenti menghargai komitmen. Masak cuma gara-gara
lewat jembatan? Iya ga sih? Ah, abaikan.
Ada yang menarik. Jadi,
ada pohon-pohon kapuk yang buahnya sudah tua dan menyebarkan semacam kapas
tipis ke hamparan rumput disekitarnya. Bagus. Putih-putih menyebar di atas
hijaunya rerumputan. Sayangnya saya hanya boleh duduk di kereta selama
perjalan, dilarang turun-turun, paling pas ada tempat menarik, supirnya
menghentikan kereta kelinci dan bercerita lalu kerete kelinci jalan lagi.
Ada
juga tanaman yang bentuknya mirip burung Garuda Pancasila.
Ada juga pogon gedhe
dan tinggi yang usianya ratusan tahun.
Macem-macem tumbuhan deh di sana tuh. Lebih lengkap ketimbang Kebun Raya Purwodadi - Jawa Timur.
Oia, tanaman di Kebun
Raya Bogor ini tidak dicampur acak tapi digolongkan. Ada kelompok Bambu, Palem,
Kayu-kayuan, Teratai raksasa, Paku-pakuan, tanaman Air, Buah-buahan, Pandan,
Kaktus, Rotan, Anggrek, dll. Saya lupa apa aja. Kebanyakan sih.
Ada danau juga sih di
sana. Ada banyak tempat duduk maupun gazebo.
Yang pasti, Kebun Raya
Bogor ini cocok banget kalo buat semacam piknik bareng keluarga atau hang-out
bareng teman-teman dekat. Kalo mau memperdalam ilmu tanaman ya bisa juga sih
kalo emang niat.
Saran saya, kesana jangan
pas puasaan. Belum puas udah kehausan duluan.
Pas udah agak siangan,
kami memutuskan untuk kembali ke Jakarta. Untungnya KRL selalu siap sedia.
Setelah sholat di mushola stasiun, pas berjalan ke arah jalur kereta saya
merasa ada lelaki paruh baya yang selalu membuntuti saya. Tangannya ditutupi
jaket yang digulung sekenanya. Dia memakai topi. Pas itu suasana agak ramai. Saya
mengabaikannya. Barangkali dia memang mau naik kereta di jalur yang sama dengan
saya. Sampai akhirnya saya benar-benar mengerti, dia berniat nyopet. Konyolnya,
saya bahkan sempat memperhatikan wajahnya yang agak salah tingkah pas saya
noleh ke belakang saat saya merasa backpack saya seperti digerakkan oleh energi
asing. He he he.
Dia berjalan menjauh.
Saya lihat resleting depan backpack saya sudah terbuka. Untungnya, di bagian
depan hanya ada headset, beng-beng dan barang-barang sederhana. Ponsel, dompet
dan kamera pocket aman di bagian dalam. Alhamdulillah.
Kemudian saya tutup
resleting bagian tas depan dan masuk ke gerbong.
Hati-hati ya bagi kalian
semua yang hobi pake tas punggung saat jalan. Selalu taruh barang penting di
tas bagian dalam karena umumnya, tukang copet hanya membuka resleting bagian
depan. Risiko meletakkan dompet di dalam, akan sulit mengambil uang, maka
selalu sediakan uang pecahan kecil di saku celana jadi jika mau ke toilet atau
apa pun, tak perlu buka dompet di tempat umum.
Agak sore kami sampai di
stasiun Jakarta Kota lalu jalan kaki lewat jalan pintas ke kost teman Nyanya
untuk mengambil tas yang tadi pagi saya titipkan. Karena sudah cukup lelah,
kami ke pun ke halte Busway naik bajaj. Hey, that was my first time. Berasa
dikocok-kocok emang. Hehehe
Kami naik busway jurusan
Dukuh Atas lalu transit dan naik busway lain jurusan Mampang Prapatan. Sampai
Mampang, saya naik ojek ke tempat saya menginap di Hotel Amaris di jalan Kapt.
P. Tendean. Aslinya saya memang ada acara di Jakarta, bukan untuk jalan-jalan
apalagi bekerja. Tapi ya sekalian lah jalan-jalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar