Rabu, 18 Juli 2012

A Glimpse of Beautiful Sempu

This is it! Pulau Sempu

Cita-cita saya nomer 52: “Mendatangi Pulau Sempu” resmi tercoret dari daftar 100 impian tadi malam. Hahhayess!

Akhirnya, sabtu tanggal 14 juli 2012 kemarin, saya berhasil menjejakkan kaki di Pulau Sempu, salah satu tempat wisata yang terlihat begitu menggoda di album facebook teman-teman saya yang sudah pernah kesana.


Cerita bermula saat teman saya, Indrawan tiba-tiba sms dan bilang dia mau ke Sempu sama teman-teman BPI-nya (BPI = Backpacker Indonesia, semacam sekumpulan manusia penggila ngetrip hemat). Tanpa mikir panjang, saya meng-iya-kan. Di Malang, jaminan biaya murah. Waktu? Bukan masalah. Saya sudah dibaiat menjadi pengangguran sejak 7 Juli lalu.

H-2 Ibu saya sakit. Penyakit asma beliau kambuh. Galau, antara ikut atau tidak.
H-1 Alhamdulillah keadaan Ibu membaik.

Akhirnya, setelah meminta izin, jumat sore saya berangkat dari rumah di Gresik ke kost di Surabaya.

Jam setengah 4 pagi bangun. Telfon Citra. Hp-nya tidak aktif. Tidur lagi.
Jam 4, Citra missedcall. Bangun. Mandi. Menggigil.
Jam 5, bareng Citra sampai di terminal Purabaya a.k.a Bungurasih.

Ternyata, ada segerombolan anak-anak Solo yang juga ikutan. Sedikit agak kaget sebenernya, sebelumnya saya mengira hanya akan ada beberapa kepala, ternyata ada sekitar 40an lebih.
Karena pesertanya terlalu banyak, jadi harus ada yang berangkat duluan sebgai pioneer untuk menandai tempat di camping ground. Si Indrawan dan entah siapa berangkat lebih dulu naik motor.

Kami ber-entah-berapa naik bus ekonomi ke stasiun Arjosari.

Sampai di terminal Arjosari, kami harus menunggu sang koordinator –Reza- menyiapkan kendaraan dan tenda.

Ketimbang bengong nggak jelas dan pas itu sekitar jam 8 (sudah waktunya makan pagi), saya dan Pipi (junior di kampus) pergi sejenak dari rombongan dan mencari sarapan.
Kenyang.

Siap berangkat.

Kami semua diangkut dua mobil jenis ELF dan satu mobil angkot.
Saya duduk tepat dibelakang supirnya yang maha-cerewet dan belakangan saya ketahui umurnya tak lebih dari 17 tahun tapi sudah bertato dan bilang bahwa dia putus sekolah karena tangannya ‘njarem’ kalo disuruh nulis.

Ada 19 orang di dalam ELF dengan tas-tas gedhe.
Dari terminal Arjosari, kami menuju ke Pantai Sendang Biru yang jaraknya entah berapa puluh kilometer, tapi yang pasti kami membutuhkan waktu sekitar 3 jam untuk sampai disana.

Jalanannya benar-benar memicu adrenalin. Naik-turun bukit. Hujan. Jalanan sempit. Licin. Berkelok-kelok. Parahnya, si supir belum pernah kesana. Berulangkali dia teriak “Jancuk” pas ada beberapa masalah kecil, semacam ketika si mobil tiba-tiba kayak memekik menahan beban dan nampak agak terseok-seok untuk menelusuri tanjakan.

Fiuh, sekitar jam 12 (barangkali) kami sampai di Pantai Sendang Biru disambut kapal di atas truk di pinggir pantai.

(kapal di atas truk, buat penyelamat mungkin)


Ramai ternyata.

Dan, jarak penyebrangan ke pulau Sempu cuma secuprit. Renang pun bisa itu. Padahal di otak saya, Pulau Sempu berjarak sekitar setengah jam via perahu dari Sendang Biru.

(look! deket banget kan?)


Kami pun sholat dulu dan makan bakso “Kangen” sebelum menyebrang.

Mendung pekat. Sialnya, saya nggak bawa jas hujan atau apapun untuk melindungi badan dan tas seandainya hujan. Benar-benar berharap ada salah satu anggota rombongan yang berprofesi sebagai pawang hujan.

Ide jenius muncul, saya pergi ke warung dan beli dua kresek besar. Buat jaga-jaga seandainya hujan. Maklum, saya nggak punya tas gunung yang ada pelindung hujannya. Buat apa juga punya carrier segedhe gitu, toh Ibu saya tidak pernah mengijinkan saya mendaki. *curhat*

Setelah beres semuamuanya, kami dibagi kedalam empat kapal (kalo ga salah).
Saya dan Pipi kebagian di kapal Pak Limbad (bukan nama sebenarnya).

(pak limbad dalam lingkaran merah)


Mendung masih menggantung.
Jangan jatuh. Plis!



Di tengah-tengah tiba-tiba kapalnya berhenti. Agak panik. Kata Pak Limbad, “Kena sampah”. Oo.

Akhirnya, kami sampai di Teluk Semut. Pasirnya putih kekuning-coklatan cerah. Banyak bakau tapi tak ada semut.

Kapalnya berlabuh (buset berlabuh. Ga nemu kata lain, cuy) agak jauh. Alhasil, celana separuh basah.


---
Setelah lengkap semua, trekking pun dimulai. Trekking atau tracking? Emboh wes, sak karep. Di kamus laptop saya, trekking means “to make a long difficult journey, especially on foot and often over rough or mountainous terrain”, sedangkan tracking means “to follow a path through a place”.

Teman kost saya dulu pernah cerita, medan di Sempu banyak lumpur-lumpurnya. Ah, ternyata, biasa saja. Ada jalanan setapak yang terlihat sering dilalui orang. Di Teluk Semut pun banyak sekali orang yang mau nyebrang ke Sendang Biru. Saya bahkan sempat dengar ada yang ngomong: “Ngapain sih pada kesana? Ada konser ta?”. Lah, dia sendiri ngaps dari sana? -___-

Detail trekkinggnya kira-kira gini,

Kami jalan satu-per-satu.



Banyak pohon-pohon. Semacam hutan gitu. Tapi nggak se-rimbun hutan-hutan habitat Orang Utan di Kalimantan sih. Pohon apa juga saya nggak tahu. Ada yang tinggi, ada yang semacam semak belukar. Jalanan setapak emang agak licin tapi tidak semuanya. Ketinggian tanah agak sedikit agak berfluktuasi, jadi kadang harus naik kadang turun. Ada juga beberapa pohon besar yang tumbang menghalangi jalan, jadi kami harus mengesot dibawahnya atau melompatinya. Umumnya, yang paling banyak melintang di jalanan adalah akar-akar pohon dan sandal. Ya, sandal yang menjadi korban kegananasan trek saat penghujan.

Beberapa kali kami berpapasan dengan rombongan arus balik.

Kadang istirahat bentar buat minum.

Lanjut jalan lagi.

Karena stamina para anggota berbeda-beda, akhirnya rombongan pun terpopulasi secara alamiah. Saya barengan Pipi, dan beberapa anak Solo, sementara teman saya, Citra dan Dhimas di belakang.

Mulai girang pas pantainya terlihat. Gerimis. Agak mulai deras. Mulai panik. Mulai reda. Camping ground terlihat. Mau turun, eh salah, tempat turunnya masih lurus jalan lagi, ternyata. Kami harus trekking di jalan setapak pinggir pantai.



Tepat 1 jam 10 menit kami sampai di teluk Sempu. Saya belum tahu, tempat itu nama resmi-nya apa.
Tak selama yang terbayang. Di otak saya sebelumnya, saya kira butuh 2 atau 3 jam trekking. Ternyata ya biasa aja *sombong*

Yang camping sudah banyak banget.



Saya langsung duduk selonjoran di atas pasir pantai sembari menunggu kloter-kloter selanjutnya. Saya termasuk kloter agak-awal. Hebat ga tuh? :p

Jadi, pantai tempat saya duduk ini kalau tidak salah namanya Segoro Anak’an. Semacam danau gitu, tapi pantai. Berbatasan dengan karang bolong yang menghubungkannya dengan Laut Selatan. Samudera? Entah. Pokoknya laut luas. Lha, si air laut yang di dalam laguna atau danau-pantai-kayak-teluk ini asalnya dari laut luas itu yang masuk bersama hantaman ombak.

Herannya, airnya berwarna hijau. Pokoknya kayak danau gitu, tapi pinggirannya pantai berpasir putih. Baguuus (y)





Lumayan worth-it lah sama perjuangan trekkingnya. Meski saya kira tempatnya lebih luas dari ini. Pantainya kecil.

Lagunanya dikelilingin bukit-bukit dengan pepohonan berwarna hijau rimbundengan coral-coral coklat dibawahnya. Perpaduan yang menawan. Nyegerin mata lah pokoknya.

Air di pesisir berwarna hijau agak muda, terus tambah tua.

Airnya tenang dan kayaknya ga terlalu dalam. Ombaknya santai.
*Kondisi ideal: duduk lihat pantai, pasang headset, dengerin lagu-lagunya Jason Mraz ato Coldplay.
*Kondisi real: duduk lihat pantai, lihat mendung, ga bawa headset, mulai masuk angin, kaos basah keringat. Ironis.

Kekurangan Sempu, selain sampah yang nampak berceceran, pengunjung lagi rame banget jadi kurang ‘privat’. *halah*

Setelah sedikit ‘membantu’ mendirikan tenda (*hei, saya terakhir camping kelas 3 SMP, 7 tahun yang lalu, jadi jelas aja udah lupa cara mendirikan tenda dong ya..), Pipi mendaulat saya sebagai personal-photographernya.


Di Sempu, semua orang jadi banci foto. Pemandangan bagus gini, sayang banget kalo disia-siakan, men. Berbagai macam pose dan ekspresi wajah ada di sana. Si Pipi mulai dari bergaya manis sampe gaya aladin lompat-lompat. Di belakangnya malah ada anak Solo yang foto sambil jumpalitan. Untung bener. Kalo salah gerak terus kepalanya nungging di pasir kan jatohnya jadi konyol. Sungguh berlebihan, mas. Ada pula cewek-cewek serombongan yang foto-foto pake kamera aquatic di tengah laut dan beberapa pasang kekasih yang jepret sana-sini. Semoga penemu kamera masuk surga, dia telah membuat jutaan manusia bahagia.

si Pipi dan pose aladin take-off


Dan tiba-tiba, ada mas-mas yang muncul dari laut dengan seperangkat snorkel gear. *lap iler*

Dibelakang camping ground, ada semacam bukit karang. Saya dan Pipi naik ke atas. Karangnya agak culas. Keras. Cadas. Ganas. Hati-hatilah kalo naik.
Sempat agak kesakitan sih pas naik, karna tangan musti berpegangan pada karang itu dan sampai di atas..
Wow!


Jadi kalo dari sini, kami bisa melihat pemandangan laut lepas yang airnya warna biru normal seperti laut-laut pada umumnya. Tiba-tiba saya curiga, mungkin air di dalam laguna atau danau-pantai Sempu mengandung ganggang hijau? Atau lumutan?

Ombak laut selatan ganas menghantam tebing. Anginnya juga cukup kencang.
Berdiri menikmati hembusan angin dan deburan ombak yang menabrak karang.
Oke, kenapa tiba-tiba teringat lagunya Agnes Monica yang “awan dan ombak”? Padahal winamp laptop lagi muter “semurni kasih”-nya Afgan.

Lupakan.

Kembali ke cerita Pulau Sempu.

Mulai senja.
Masih mendung.




Oia, saya se-tenda sama dua cewek Solo, namanya Liya dan Justi. Mereka asik-asik ternyata. Mulai kenal sejak sarapan diam-diam di terminal ber-empat.
Tenda saya paling pinggir, berbatasan sebelah kiri dengan tenda mas Jember dan bule Persia asal Iran yang lagi S2 di Indonesia tapi nampaknya dia lebih berniat untuk travelling ketimbang studying. Bayangin aja, kelar dari Sempu, dia langsung naik ke Argopuro. Tenaga bule, beda. Oia, Si bule ini muslim Syiah, sedangkan mayoritas orang Indonesia adalah muslim Sunni. Sama Islam-nya kok, cuma memang ada sedikit perbedaan, contohnya: rukun iman dan rukun Islam yang beda.

---

Mulai malam.
Mulai kelaparan.
Saya bawa cup-noodle, anggap saja bahasa Indonesianya: pop-mie.
Anak yang biasa ke gunung, bawaannya sosis, ikan asin, margarin, mi bungkus, seperangkat kompor-instant dan nesting. Aslinya saya gak ngeh pas Indrawan nyebut-nyebut “nesting”, pikiran saya: nest = sarang. Maksudnya apa? Ternyata, nesting itu semacam seperangkat alat masak buat para hiker. *cupu parah*
Analisis saya, urusan masak di alam liar gini, laki-laki lebih jago. Mereka nggak peduli dengan tingkat kematangan maupun higienitas, terpenting kenyang dan senang.

Malam itu, kami ada semacam acara “perkenalan”. Jadi satu-satu berdiri, sebut nama, asal dan kenapa kok ikut trip ke Sempu ini. Karena gelap, ya maaf saja, saya tidak bisa mengingat wajah dan nama mereka satu-satu. Palingan saya tahu beberapa saja.

Info aja sih, angin malam di Sempu nggak dingin-dingin banget kok.

Oia, jangan kira anak backpacker yang muslim nggak rajin sholat ya. Meski saya tahu, ada beberapa orang di camping ground yang mabuk-mabukan, tapi kami tetap melaksanakan ibadah meski sedang ngetrip. Di musholla Sendang Biru, saya bahkan sempat ikut jamaah anak Solo sholat jamak ta’dhim dhuhur-ashar. Di sebelah tenda saya dan tenda anak Solo sebelah kanan, ada space kecil yang dipake sholat. Wudhu? Air laut dong. Sedikit bingung tentang qiblat sih, karena pas sunset mendung, eh pas saya mau sholat ada mas-mas yang negur, qiblat saya agak melenceng katanya.


*contoh orang sholat


Masalah terbesar sebenarnya adalah masalah ‘mengeluarkan-kotoran-tubuh’. Karena Sempu ini bukan ‘tempat-wisata’ melainkan cagar alam, jadi tidak ada toilet umum di sana.
Malam-malam, kami para cewek pada kebelet pipis. Akhirnya, saya, Pipi, Liya, Justi, Citra, Dian rame-rame naik ke bukit belakang tenda dan pipis di balik semak-semak.
Tralalalaaaa...

Untunya Pipi dan Justi bawa sarung yang emang disiapkan khusus untuk kondisi darurat kayak gini. Sial banget, si Pipi bisa melihat ‘makhluk gaib’, gak sengaja dia ngomong, jadi sedikit agak serem.
Buat para perempuan, sangat penting bawa tissue basah ya, mbak-mbak.

Langit masih mendung.
Aslinya saya berharap, langit cerah kemudian duduk di pinggir pantai lihat bintang-bintang. Disana gelap total. Tidak ada polusi cahaya, jadi seandainya tidak ada mendung, pasti bintang-bintang terlihat jelas. Sayang sekali.
Si Pipi malah tiba-tiba bilang: “Suasana kayak gini, paling enak main kembang api”. Haa, iya juga siih..

Karena capek, saya langsung tidur.

Sekitar jam 3, saya bangun.
Entah ini kenapa. Tiba-tiba dada saya sakit sekali. Sesak napas dan berasa kayak ditindih gajah bengkak. Lama. Sendirian. Sepi. Saya jadi parno, jangan-jangan masalah paru-paru Ibu menurun ke saya? Tapi sakitnya merembet ke lengan, jangan-jangan jantung saya capek tadi diforsir terlalu keras? Atau mungkin lengan ngilu karena tadi tidurnya miring? Sampai saya berjanji (palsu) ke diri sendiri, mau ke dokter sesampai di Gresik. Sakit di dada belum hilang ketika tiba-tiba saya ketiduran lagi tanpa disadari. (cerita macam apa, ini?)

Bangun jam setengah 5.
Gerimis.
Tidur lagi.
Bangun jam 5.
Masih gerimis.
Terpaksa, wudhu di sebelah tenda pake air mineral 1,5 liter.
Tetap gerimis.
Akhirnya sholat di tenda.
Tidur lagi. Jam 8 (mungkin) baru bangun.
Sengaja tidur lama.
Mendung.
Gagal lihat sunrise.

Ngajakin Pipi naik ke atas bukit belakang camping ground yang paling tinggi biar bisa lihat view lebih luas, eh sampe atas ternyata rame banget. Akhirnya cuma berdiri di nyaris-atas.
Pfffttt.. Bukitnya terjal.
Tapi, wohoooo! Pemandangannya lebih indah, juragaan..

Sempu terlihat kayak secuil raja ampat.

Kasarannya, dari nyaris-atas, saya bisa lihat laut lepas dan si laguna secara general dan zoom-out, lah.



Turun dari bukit, si Pipi ngajakin renang. Masalah: Cuma bawa satu baju ganti dan udah kepake gara-gara kaos yang kemarin sudah basah kena keringat. Solusi: ganti baju kemarin.
Dan nyebur ke laut pelan-pelan.

Airnya menggoda banget, sumpah.

Berhubung kami menjaga agar rambut nggak basah (karena kami berjilbab dan akan sangat risih kalo rambut sampe basah) jadi kami renang gaya semi-anjing alias menjaga supaya kepala tetap di permukaan. Aslinya mau banget renang sampai ujung danaunya atau at least ke karang bolong tempat air laut masuk, tapi takut kena rambut jadi kami renang di situ-situ aja. Puas-puasin lah mumpung gratis. Di Surabaya, sekali renang IDR 20.000, jeh.
Endingnya: rambut tetep basah. Sial.

Pagi itu, di pinggir pantai, ada bapak-bapak ber-badan ala binaragawan dengan otot menyembul di sana-sini, foto dipinggir pantai pamer badan. Iyuuuuh..

Cepet-cepet ganti baju lagi. Rasanya, badan agak aneh kena air laut, tanpa bilas.

Eh iya, disana banyak monyet-monyet liar berkeliaran. Doyan makan roti loh mereka.
Suka nyolong barang juga katanya, jadi pas monyet-monyet itu datang, teman-teman pada buruan angkat jemuran.
---
Cuaca di Sempu benar-benar galau nan labil!
Sejenak hujan gerimis.
Lalu terang.
Mendung.
Hujan deras.
Berhenti.
Panas terik sepuluh menit.
Mendung.
Panas lagi.
Gerimis lagi.
Berulang kali.
Bahkan sampai tenda dilipat pun masih sempet hujan. Terpaksa berlindung di bawah karang atau pohon.
Untungnya pas kami balik trekking menuju Teluk semut, hujan berhenti.


Aslinya, saya berharap ada pelangi..

Sekitar jam 11, setelah acara foto bareng dan ber-say goodbye ke Sempu, kami pun mulai trekking. Saya dan Pipi memilih ikut rombongan yang agak-depan, biar cepet nyampe.

Jalan pulang lebih licin terkena hujan. Pipi bahkan sempat terjatuh di tanah liat.

Tapi entah kenapa, perjalanan pulang selalu terasa lebih cepat.

Sssst... Bau pesing di beberapa tempat. Yaah, we knew why. fufufu :3

Ditengah hutan, saya sempat tertinggal agak jauh dari teman-teman di depan, akhirnya saya posisi yang terdepan. Jadi saya yang milih jalur. Hasilnya? Kena semprot beberapa kali dari belakang gara-gara saya selalu memilih jalan yang susah. Hehehe. Maaf.
Lalu ketemu si Indrawan di tengah jalan dan malah jadi ngerumpi tentang berita per-kampus-an.
Kami sempat berpapasan dengan rombongan yang ada anak kecil-kecil. Wah, itu entar kasian bapaknya gendong mereka. Sekedar info: tidak semua pengunjung laguna Sempu menginap loh. Sebagian dari wisatawan berangkat ke sana, duduk-duduk lalu balik lagi ke Teluk Semut pada hari yang sama. Gempor, gempor dah itu kaki.

Akhirnya, setelah melewati hutan pepohonan tinggi, mulai nampak bakau, tanda bahwa kami telah sampai di Teluk Semut..

Hanya 1 jam 1 menit pas. Lebih cepat 9 menit dibandingg pas berangkat. Yey! Padahal cuma sarapan sekotak ultramilk coklat dan secuil roti.

Karena pas pulang ini bener-bener tanpa istirahat tapi jalannya agak sedikit sloww.

Saya ikut rombongan kapal pertama. Nahkodanya pak Limbad lagi.

Sialnya, kapal berlabuh kejauhan dari pantai. Celana satu-satunya basah lagi sampai paha dan kaos juga basah.

Mandi di toilet umum sebelah Musholla di Sendang Biru seperti tak mandi. Nggak ada pengaruhnya wong kaos tetep basah peluh. Celana makin basah karena sengaja tak cuci bawahnya biar suci dan bisa dipake sholat.

Nunggu ELF ga dateng-dateng.
Semangkok bakso habis.
Duduk-duduk di beton pinggir pantai sama si Pipi sambil ngobrolin ini itu dan ngangin-anginkan baju biar agak kering. Anginnya kenceng. Sejam lebih. Hasilnya? Saya terpaksa harus minum Antangin!

Saran: kalo ke Sempu bawalah pakaian cadangan lebih.

Jam setengah 5 kami meninggalkan Sendang Biru.
Mulai berkabut.
Melewati jalan yang meliuk-liuk (lagi).
Melewati sawah. Hutan jati. Kebun kelapa. Kebun singkong. Kebun salak. Kebun tebu dan kebun-kebun lainnya. Aslinya pemandangannya indah kok pas yang di bukit-bukit itu.

Eh, si rombongan angkot mogok. Kasian.

Sesampainya di agak kota, mas-mas yang sebelah saya malah tiba-tiba mabok. Muntah. Entah siapa namanya. Akhirnya si ELF minggir.
Selama perjalanan pulang, si supir semakin cerewet. Addaa.. aja yang dibicarakan. Terutama tentang perbedaan bahasa jawa solo dan bahasa jawa malang yang emang cukup berbeda. Nggak semua orang jawa timur tahu istilah ‘oglangan’ dan ‘udut’ loh. Tapi berhubung Ayah saya orang Sragen (tetangga Surakarta dan masih dianggap Solo raya) jadi istilah-istilah aneh seperti itu tidak asing.
  
Sekitar jam setengah sembilan mungkin, kami sampai di terminal. Rame banget orang yang mau ke Surabaya. Jadi kami harus kelesotan nunggu bis jurusan terminal bungurasih. Akhirnya, sekitar setengan 10, dalam kondisi perut keroncongan, masuk angin dan kaki kapalan, kami naik ke dalam bis. Sebagian terpaksa tidak kebagian tempat duduk. Saya dan Pipi duduk di bangku ke-dua belakang supir tepat.

Segalanya berjalan lancar. Saya tertidur. Saat tiba-tiba.. “Praaangg!!!!”. Kaca bus depan pecah. Saya mikir, astaga, kecelakaan! Pecahan kacanya bahkan ada yang kena kaki saya. Saya udah megang tangan si Pipi kenceng. Ternyata, bukan kecelakaan tapi memang ada oknum yang sengaja melempar kaca bus dengan batu besar. Nggak waras! Alhamdulillah kami semua tidak kenapa-kenapa, Bapak supirnya juga terlihat baik-baik saja. Tapi tetep aja, kejadian itu sempet bikin deg-degan.
Semacam farewell session yang aneh. Karena ternyata kami sudah ada di pintu masuk terminal saat kaca pecah itu. Dan itu sudah sekitar jam 12 malam, saudara-saudara.
Setelah pamit dengan beberapa anak Solo yang ada, saya nebeng Citra pulang ke kost.
Rasanya.. Badan capek semua..
Tapi menyenangkan.

NB:
Budget untuk ke Sempu dengan anak BPI Surabaya-Solo = Rp 82.000 per-orang (yang dari Solo entah berapa) untuk biaya bis surabaya-malang PP, ELF PP, perahu penyebrangan PP dan tenda semalam. Rinciannya? Entah. Tidak ada transparansi laporan keuangan, tapi tak apa, saya percaya saja dengan menteri keuangan rombongan.

Epilog:
Selalu ada cerita dibalik sebuah perjalanan, kan?
Ini ceritaku. Cerita lainnya? Pasti berbeda.
Ah, Sempu. Mau deh aku ketemu kamu lagi, nanti :)
Makasih buat teman-temanku, lan suwon yo mas-mbak cah-cah Solo.
Makasih buat Ibu & Ayah yang mengizinkan dan maaf tidak bisa ditelfon selama di sana.
Makasih buat Mas-ku, yang tasnya tak ambil di lemarinya dan baru ngasih tau pas sampai di Malang, untungnya dia bilang “Pek’en”. Hahha.

Last note: Trinity (travel-writer) memasukkan Sempu dalam 10 Pantai terindah di Indonesia loh. Senang rasanya bisa kesana.. :*






Dian, Mila, Pipi, Aku, Citra, Dhimas, Indrawan

Citra, Aku, Pipi

Sejenak terang



sebagian rombongan

camping ground


Ada yang mainan gelemung-gelembung :3

It's Pipi and me


Tidak ada komentar:

Posting Komentar

...aku

Foto saya
Gresik, Jawa Timur, Indonesia
ex-mahasiswi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga